Dengan langkah berat aku berjalan memasuki kamarku. Kutaruh tasku diatas meja belajar, dan disanalah aku terdiam. Mataku terpaku pada sebuah figura foto yang telah lama berdiam diri diatas sana.
Minhyuk tersenyum sangat lebar dalam figura tersebut. Dan tangannya melingkar sempurna disekitar leherku. Aku tak dapat mempungkiri, tapi aku tersenyum dengan sangat lebar pula dalam foto tersebut. Foto yang kami ambil beberapa tahun lalu, dihari kelulusan sekolah menengah pertama kami.
Ponselku berdering. Dengan cepat aku membuka tasku dan mengambil barang tersebut untuk melihat siapa yang menelfon.Kupikir itu Minhyuk, tidak, malah aku berharap bahwa itu Minhyuk. Tapi ternyata bukan. Seulgi yang menelfon. Dan aku melempar ponselku keatas kasur dan membanting tubuhku pula keatasnya.
Aku menutup mataku. Bayangan Minhyuk saat bersama SinB dan bagaimana cara ia melihatku namun tidak berbuat apa-apa.Lagipula jika tidak ada yang aneh darinya, ia akan menghubungiku bahkan sebelum aku sampai di rumah untuk menemuinya.Dimanapun ia berada, ia akan memintaku untuk datang. Aku menutup mataku lebih kencang lagi. Dadaku terasa semakin sesak.
***
Keesokan harinya aku kembali ke sekolah. Seulgi bilang hari ini ada pertandingan basket. Dan tentu saja Minhyuk ikut bemain. Tak banyak yang kulakukan hari ini disekolah, jadi karena itu aku memilih untuk berjalan ke arah lapangan sendirian.Tentu saja tanpa Seulgi. Gadis itu sudah terlebih dahulu berada di lapangan, bahkan sebelum pertandingan dimulai.
Bagian dalam sekolah nyaris tak berpenghuni, baru ketika aku berjalan mendekati lapangan teriakan ricuh dan jeritan para gadis terdengar sangat nyaring. Aku tidak terlalu suka tempat ramai, maka ketika Seulgi mengajakku tanpa pikir panjang kutolak.
Peluit kembali ditiup dan bola melayang di udara. Kuikuti setiap geraknya dan Minhyuk berhasil menangkapnya. Ia berlari sambil menggiring bolanya. Wajahnya tampak lelah, tapi itu semua tertutup dengan wajah ingin menangnya. Aku menoleh kearah papan skor dan kulihat 15:15 disana. Skor mereka seri, itu berarti semua kekalahan dan kemenangan ada ditangan Minhyuk. Hatiku berdebar tak karuan. Kali ini kulihat papan waktu menunjukkan waktu kurang dari satu menit lagi. Itu berarti tak ada waktu lagi.
Minhyuk berlari semakin kencang. Sorakan penonton semakin kencang ketika Minhyuk berlari semakin mendekat ring. Hanya butuh satu loncatan dan Minhyuk akan membawa kemenangan untuk timnya. Hanya satu loncatan. Dan tak ada yang dapat kulakukan selain berdoa dalam hati untuk keberhasilannya.
Minhyuk berjongkok, bersiap untuk meloncat. Hatiku semakin berdebar dan ia pun akhirnya melakukannya. Sorakan penonton pecah, hampir saja aku ikut bersorak. Tapi kulihat dia mengepalkan tangannya keatas tanda kemenangan, bersamaan dengan itu teman-teman se-timnya menghampirnya. Hampir semua memeluknya. Baru kusadar begitu banyak orang yang menyayangi lelaki itu. Hatiku tersentuh, betapa bodohnya aku yang selalu mengabaikan lelaki itu. Bahkan ketika ia berkata tentang kepiawannya bermain basket, dia tidak pernah berbohong.
Aku kembali memperhatikannya, namun yang terjadi setelah itu adalah seorang gadis menghampirinya. Gadis itu berlari kearah Minhyuk dan memeluknya erat. Aku terpaku. Tak ada yang Minhyuk lakukan selain membalas pelukannya. Kakikku begitu lemas dan mataku mulai terasa panas. Sesaat kuingin pergi meninggalkan lapangan itu, Minhyuk menoleh kearahku. Namun ia tak melepaskan pelukannya pada gadis bernama SinB itu.
***
Pertandingan berakhir. Dan aku memilih untuk pulang sendirian. Kepalaku menunduk beriringan dengan langkah kakiku yang gontai. Banyak sekali pikiran dalam benakku. Apa yang kuperbuat salah? Namun apa yang telah kulakukan sampai membuatnya berubah seperti itu?
Hanya tinggal beberapa langkah sebelum aku sampai ke depan rumahku, aku mendengar namaku terpanggil.
“Ya! Bukankah kau Son Wendy? Kau siswa sekolah kami, kan? Ayo ikut bersama kami! Kami sedang mengadakan pesta atas keberhasilan tim sekolah dalam permainan basket tadi.” ucap seorang gadis. Dan ketika kumenoleh, baru dapat kulihat jelas bahwa gadis tersebut adalah SinB.
“Pestanya akan digelar dirumah Minhyuk.” ucap salah seorang lelaki. Aku hampir membulatkan mataku tak percaya. Kulihatsebuah rumah yang hanya berjarak 2 rumah dari rumahku. Itu adalah rumah Minhyuk, dan sudah banyak kendaraan yang terparkir didepannya. Belum sempat aku menjawab, gadis itu menarikku jadi mau tak mau aku mengikutinya.
Tawa nyaring terdengar saat aku mulai memasuki pekarangan rumahnya. Dan begitu aku muncul dihadapan kerumunan orang,semuanya berhenti tertawa. Mataku langsung bertemu dengan matanya. Tawa Minhyuk terhenti saat ia menyadari kehadiranku. Aku terdiam, jantungku berdetak sangat kencang, dan SinB tersenyum sangat lebar disampingku.
“Perkenalkan, namanya Son Wendy. Berhubung dia teman satu sekolah kita, tidak apa bukan jika aku mengajaknya kesini?”ucap SinB. Ia menarik lenganku dan memaksaku untuk mengulurkan tangan kedepan.
“Whoa, Kang Minhyuk! Kau bertetangga dengan gadis ini? Daebak! Kau beruntung sekali. Kalau begitu membuatku rajin mengunjungimu terus.”
“Siapa namanya? Wendy? Indah sekali. Aigoo.. Akhirnya aku mengetahui namanya juga. Ayo bergabung bersama kita!”
Aku hanya memaksakan senyuman dan sebisa mungkin kuhindari tatapan tajam Minhyuk. Aku hendak duduk saat ia akhirnya memilih untuk berdiri dan berjalan menghampiriku. Mataku terbelakak. Jantungku berdetak tak karuan, dan semua mata tertuju kearahnya.
“Apa yang kau lakukan disini?” kata-katanya begitu sangat dingin. Jantungku hampir saja berhenti berdetak. Aku melihat sekeliling, mereka semua memperhatikan kami berdua. Karena tak ingin semua orang beranggapan salah terhadapku, jadi aku berlalu melewatinya.
“KUTANYA KAU. MAU APA KAU KESINI?”
Ia mencengkram lenganku kuat. Semua orang berhenti melakukan aktivitasnya dan mereka semua terdiam. Aku tak berani menoleh karena ia berteriak. Minhyuk bukanlah tipe orang yang dapat berteriak dengan mudahnya. Namun sekarang ia berteriak. Ia berteriak kepadaku.
“Ya, Kang Minhyuk! Apa yang salah dengannya datang kesini? Dia siswa sekolah kita juga jadi-”
“Keluar. Kalian semua keluar. Sebelum kutendang kalian satu-satu. Kalian boleh pergi. Terima kasih atas pestanya.” ucapMinhyuk dingin.
Mereka semua saling bertukar pandang. Seperti sebuah mantra, kata-kata Minhyuk langsung dikerjakan oleh hampir semuanya.Mereka mulai mengepakkan barang mereka dan berlalu menuju pintu keluar.
“Tapi Wen-” ucapan SinB terputus karena setelahnya Minhyuk berjalan kearah pintu, menutupnya dengan kencang, dan menguncinya dengan cepat saat hanya tersisa aku dan dirinya diruangan itu.
“Apa kau gila?” Ia berbalik dan menghampiriku lagi. “Apa kau tidak punya otak?” tanyanya setengah berteriak.
“Bukankah seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu? Apa kau gila? Apa yang baru saja kau lakukan, Kang Minhyuk!”Aku berteriak dan tak kusangka emosiku meluap begitu saja. “Bodoh! Kau malah membuat mereka salah paham. Apa yang ka pikirkan tentang kau dan aku setelah ini? Tidakkah kau berpikir apa yang akan terjada padaku setelah ini?”
“Apa kau tau apa yang akan dilakukan mereka ketika kau disini? Bagaimana jika mereka menyakitimu? Bagaimana jika mereka merendahkanmu? Bagaimana jika mereka hanya ingin mempermainkamu?”
“Siapa kau untuk peduli sebegitu besarnya padaku?” tanyaku akhirnya.
Minhyuk terdiam. Mataku mulai berair. Sekeras mungkin kuusahakan untuk tidak menangis didepannya. “Sepenting itukah aku untukmu?” tanyaku lagi. Ia tidak menjawab. ” Sepenting itukah aku untukmu sampai-sampai kau mengabaikanku beberapa hari belakangan ini? Sepenting itukah aku untukmu sampai-sampai kau malu untuk memperkenalkanku ke teman-temanmu? Sepenting itukah aku untukmu sampai-sampai kau berteriak padaku seperti ini?” tanyaku bertubi-tubi. Tak dapat kutahan tetapiair mataku mengalir begitu saja.
“Pernahkah kau bertanya ada apa denganku selama ini? Pernahkah kau bertanya apakah aku bahagia? Pernahkah kau bertanya apakah aku sedih? Pernahkah kau menghampiriku? Pernahkah kau menghampiriku setiap pulang sekolah hanya untuk sekedar melihat keadaanku yang tak bisa kau temui saat di sekolah? Pernahkah kau menghampiriku saat malam hari hanya sekedar untuk membuktikan bahwa kau tak sendiri? Bahwa kau masih memiliki seseorang yang ingin selalu kau temui. Bisakah kau rasakan ketika kau tidak bisa melakukan itu semua lagi? Karena itu yang aku rasakan.” Air mataku mengalir semakin deras. Minhyuk tetap berdiri di tempatnya dengan tangan dikepalkan kuat.
“Bodoh. Aku hanya seorang Son Wendy, bahkan tak banyak orang yang tahu akan kehadiranku. Dan bodohnya lagi aku jatuh cinta pada seorang lelaki yang amat tinggi. Lelaki itu persis seperti sebuah bintang. Berada diatas sana dan hanya dapat kupandang saja, begitu sulit untuk diraih. Dan bahkan ketika aku meraihnya, ternyata aku tak benar-benar meraihnya. Aku bertemunya hampir setiap hari di sekolah. Tapi tak ada yang dapat kulakukan selain berlalu melewatinya, dan berpura-pura seakan aku tak mengenalnya. Aku bahkan tak tahu apa yang kulakukan, sering aku bertanya pada hatiku sendiri. Lalu jawaban yang kudapati hanyalah aku begitu menyayangi lelaki itu sampai-sampai aku tak ingin mencoba meraihnya lagi. Karena aku takut jika aku berusaha meraihnya lagi, aku malah terjatuh dan gagal meraihnya. Aku hanya ingin mendekap apa yang telah kuraih. Walau apa yang kuraih tak semuanya. Yang berarti tak semua darinya dapat kumiliki.”