3. Tatanan Tektonik
Sebagaimana terlihat dalam Gambar 1, kepuluan Indonesia merupakan tipe struktur busur
kepulauan dengan fisografi yang unik, yaitu trenches, arc-trench gaps, gravity anomalies,
busur volkanik dan rangkaian pegunungan muda dengan karakteristik sebaran kedalaman
gempa sepanjang zone penunjaman. Fisiografi unik tersebut ditunjukkan dalam bentuk
kondisi tektonik dimana di bagian barat laut dan bagian tenggara berturut-turut ditempati oleh
lempeng Benua Asia (Paparan Sunda) dan lempeng Benua Australia dimana kedua paparan
tersebut membentuk daerah stabil. Di bagian timur laut dan barat daya berturut-turut ditempati
oleh lempeng Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, sementara di bagian tengah didominasi
oleh keratan-keratan benua dan samudera serta oleh kerak bumi intermediate (intermediate
crust). Daerah di bagian tengah tersebut dikenal juga sebagai daerah transisi.
Keratan-keratan benua tersebut mencerminkan bahwa keratin kerak bumi telah pindah tempat
(allochthone) sejak jutaan tahun lalu dimana telah bergerak sejauh ratusan kilometer
meninggalkan tempatnya dan terus bergerak hingga sekarang. Sebagai contoh adalah
fragmen Banggai-Sula yang secara geografis meliputi Kepulauan Banggai, Peleng dan Sula.
Keratan benua kecil ini disusun oleh batuan asal benua yang terhanyutkan oleh Patahan
Sorong ke arah barat.
Sementara itu, Pulau Sulawesi merupakan pusat benturan ketiga lempeng kerak bumi. Pulau
ini seakan dirobek oleh berbagai patahan (faulting) dan sesar (thrusting) dimana berbagai
jenis batuan tercampur sehingga posisi stratigrafinya menjadi sangat rumit. Oleh karena itu,
pulau ini memiliki empat buah lengan yang dikenal dengan sebutan Lengan Selatan, Lengan
Utara, Lengan Timur, dan Lengan Tenggara. Lengan Utara merupakan Sulawesi volcanic arc
yang terbentuk sejak zaman neogen akhir (5,44 juta tahun lalu) hingga sekarang dan berkaitan
dengan palung subduksi. Lengan Timur dan Lengan Tenggara ditempati oleh jalur batuan
ophiolit (Eastern Sulawesi ophiolite) dan juga terdapat batuan lain yaitu mandala benua
pindahan (allochtonous continental terrains) sekalipun dengan ukuran yang kecil. Dengan
kata lain, keempat lengan tersebut memiliki sejarah geologi yang kompleks dimana dicirikan
oleh proses tektonik yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pulau ini dan kepulauan
Banggai–Sula merupakan kesatuan mosaik geologi yang disatukan oleh proses tumbukan
(collision)
Dampak dari benturan antar lempeng kerak bumi yang berbeda jenis tersebut menimbulkan
terjadinya penimbunan energi (stress energy) di dalam fitur-fitur geologi dan dalam kurun
waktu tertentu dimana akan dilepaskan secara tiba-tiba dengan nilai besaran gempa yang
beragam. Potensi-potensi gempa bumi yang besar (> 7.5) tersebut dapat terjadi di sepanjang
batas lempeng kerak bumi (Ruff dan Kanamori, 1983 dan McCann et al., 1987).
Benturan (collision) antara Busur Sunda Timur (busur Banda) dengan lempeng Benua Barat
Laut Australia membentuk mosaik element–elemen tektonik kompleks yang terdiri dari
berbagai fitur morfo-struktur. Oleh karena itu, di tepian timur Paparan Sunda tersebar
cekungan tarikan Makassar (Makassar Extensional Basin), Palung Doang, Tepian Sulawesi,
Palung Spermonde, Punggungan Selayar dan Cekungan Bone. Sementara di bagian selatan
ditempati cekungan busur belakang yang terdiri dari Cekungan Bali, Palung Lombok,
Cekungan Flores, Sub-Cekungan Wetar. Dampak lainnya adalah terbentuknya patahan10
patahan di Sulawesi, Kalimantan Timur, di bagian utara Nusa Tenggara Timur dan struktur
belakang busur (Gambar 6).
Provinsi Papua yang terletak di bagian barat Pulau Nugini sering dipertimbangkan sebagai
salah satu daerah yang memiliki kondisi tektonik yang kompleks di dunia. Hal ini diakibatkan
benturan denngan sudut miring antara lempeng Samudera Pasifik–Lempeng Caroline yang
bergerak ke selatan dengan kecepatan antara 110 mm – 125 mm/thn terhadap tepian lempeng
Benua Australia. Benturan miring lempeng-lempeng tersebut menghasilkan gerak patahanpatahan
kombinasi thrusting dan geser di seluruh pulau Irian meliputi jalur sesar naik
Membramo di utara Papua, jalur anjak perdataran tinggi (the highland thrust belt) Papua
Tengah, Sesar Sorong, Ransiki, Yapen, dan Zone Sesar Tarera–Aiduna yang terkonsentrasi di
sekitar Papua Barat, kepala dan leher burung Papua. Dengan kata lain, dapat disimpulkan
bahwa Parit Nugini merupakan fitur tektonik utama yang dapat menggambarkan batas antara
Lempeng Pasifik dan Lempeng Australia.
Gambar 6. Tektonik utama Indonesia.
Zona subduksi yang terjadi di bagian selatan wilayah Indonesia dikenal dengan sumber
gempa Busur Sunda yang membentang dari bagian barat Pulau Andaman di bagian barat
sampai Pulau Banda di bagian timur. Di bagian timur dari Busur Sunda membentang Busur
Banda yang dimulai dari bagian timur Pulau Sumbawa yang membentang ke timur di bawah
Pulau Timor melengkung berlawanan arah jarum jam ke arah utara melewati Pulau Seram dan
membentang ke arah barat hingga pulau Buru. Di bagian timur wilayah Indonesia, terjadi
pertemuan antara sumber gempa dari barat dan jalur gempa Busur Banda dengan jalur gempa
akibat benturan atau pertemuan Lempeng Australia dengan Lempeng Pasifik. Zona-zona
subduksi utama wilayah Indonesia tersebut merupakan zona-zona sumber gempa yang
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kejadian gempa yang telah lalu dan yang
akan datang.
11
Fault atau sesar yang terdapat di lempeng tektonik dalam perkembangannya juga mengalami
pergerakan dan juga akan memberikan berkontribusi terhadap kejadian gempa. Besarnya
magnituda gempa yang terjadi akibat mekanisme pergerakan fault ini bergantung pada luas
bidang fault yang saling mengunci (asperity area) dimana makin luas area asperity-nya maka
kemungkinan akan kejadian gempanya juga semakin besar. Mekanisme pergerakan fault ini
bisa berupa srike-slip, reverse dan normal.
4. Katalog Gempa
Dalam membuat model statistik probabilitas dari suatu sumber gempa diperlukan katalog
gempa dan data seismogenic. Data kejadian gempa historik yang pernah terjadi di wilayah
Indonesia dan sekitarnya dikumpulkan dari berbagai sumber, seperti dari a) Nasional
Earthquake Information Center U.S. Geological Survey (NEIC-USGS), dimana data ini
merupakan gabungan dari katalog gempa yang dikeluarkan oleh The Bureau Central
International de Seismologie (BCIS), International Seimological Summeries (ISS),
International Seimological Center (ISC), Preliminary Determination of Epicenter (PDE) dan
beberapa katalog perorangan, seperti Abe, Abe dan Noguchi, serta Gutenberg & Richter, b)
katalog gempa Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Indonesia, c) katalog
Centennial dimana merupakan kompilasi katalog Abe, Abe dan Noguchi, Newcomb &
McCann, dan d) katalog Pacheco dan Sykes dimana gempa-gempa menengah sampai besar
telah direlokasi dan dikoreksi, serta e) katalog gempa yang sudah direlokasi oleh Engdahl
(Engdahl et al., 2007) dimana katalog ini berguna untuk mengontrol geometri dari patahan.
Data yang dipilih adalah data dalam perioda tahun 1900 sampai tahun 2009 dengan batasan
koordinat 10°LU - 12°LS dan 90°BT - 145°BT, sedangkan untuk analisis annual rate
digunakan data dari tahun 1964 sampai tahun 2009.
4.1. Konversi Skala Magnituda
Data-data kejadian gempa yang dikumpulkan dari berbagai sumber umumnya menggunakan
skala magnituda yang berbeda-beda. Skala magnituda yang digunakan antara lain adalah
suface wave magnituda (ms), Richter local magnitude (ML), body wave magnitude (mb) dan
moment magnitude (Mw). Skala-skala magnituda tersebut harus dikonversi terlebih dahulu
menjadi satu skala magnituda yang sama sebelum digunakan dalam analisis resiko gempa.
Terdapat beberapa usulan formulasi atau persamaan konversi skala magnituda yang diusulkan
peneliti seperti Purcaru dan Berckhemer (1978), Tatcher dan Hanks (1973), dimana rumusrumus
tersebut dibuat dengan menggunakan analisis regresi. Selain itu, Idriss (1985) telah
membuat grafik korelasi hubungan antara Mw dengan ML, MS, mb, dan MJMA. Analisis konversi
pada studi ini menggunakan data-data gempa (katalog gempa) wilayah Indonesia yang
dikumpulkan dari berbagai sumber diatas. Hal tersebut disebabkan peneliti tidak memiliki
data informasi untuk pembuatan persamaan konversi tersebut. Dari data-data tersebut dengan
menggunakan analisis regresi didapat rumusan korelasi konversi magnituda untuk wilayah
Indonesia seperti yang terlihat pada Tabel 1.
12
Tabel 1. Korelasi konversi antara beberapa skala magnituda untuk wilayah Indonesia.
Korelasi Konversi Jml Data
(Events) Range Data Kesesuaian
(R2)
Mw = 0.143Ms
2 – 1.051Ms + 7.285 3.173 4.5 ≤ Ms ≤ 8.6 93.9%
Mw = 0.114mb
2 – 0.556mb + 5.560 978 4.9 ≤ mb ≤ 8.2 72.0%
Mw = 0.787ME + 1.537 154 5.2 ≤ ME ≤ 7.3 71.2%
mb = 0.125ML
2 - 0.389x + 3.513 722 3.0 < ML < 6.2 56.1%
ML = 0.717MD + 1.003 384 3.0 ≤ MD ≤ 5.8 29.1%
4.2. Analisis Kejadian Gempa Independen
Kejadian-kejadian gempa dependent atau gempa ikutan (foreshock dan aftershock), harus
diidentifikasi sebelum data-data kejadian gempa digunakan untuk menentukan tingkat hazard
gempa. Beberapa kriteria empiris untuk mengidentifikasi kejadian gempa dependent telah
dilakukan oleh beberapa peneliti, seperti Arabasz dan Robinson (1976), Garner dan Knopoff
(1974) dan Uhrhammer (1986). Kriteria ini dikembangkan berdasarkan suatu rentang waktu
dan jarak tertentu dari satu kejadian gempa besar.
Dalam studi ini digunakan model Garner dan Knopoff (1974) untuk mencari gempa utama.
Hal ini sesuai dengan berbagai analisis yang dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan
model-model diatas dan diketahui model Garner dan Knopoff (1974) memiliki hasil yang
cukup baik. Katalog gempa yang diambil dari berbagai sumber di atas dikumpulkan sampai
mencapai lebih dari 70.000 kejadian gempa untuk seluruh wilayah Indonesia dan disortir
dengan model Garner & Knopoff (1974) hingga didapatkan main shock-nya dengan jumlah
8.151 kejadian gempa.
4.3. Analisis Kelengkapan (Completeness) Data Gempa
Proses analisis kelengkapan (completenes
3. Tatanan TektonikSebagaimana terlihat dalam Gambar 1, kepuluan Indonesia merupakan tipe struktur busurkepulauan dengan fisografi yang unik, yaitu trenches, arc-trench gaps, gravity anomalies,busur volkanik dan rangkaian pegunungan muda dengan karakteristik sebaran kedalamangempa sepanjang zone penunjaman. Fisiografi unik tersebut ditunjukkan dalam bentukkondisi tektonik dimana di bagian barat laut dan bagian tenggara berturut-turut ditempati olehlempeng Benua Asia (Paparan Sunda) dan lempeng Benua Australia dimana kedua paparantersebut membentuk daerah stabil. Di bagian timur laut dan barat daya berturut-turut ditempatioleh lempeng Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, sementara di bagian tengah didominasioleh keratan-keratan benua dan samudera serta oleh kerak bumi intermediate (intermediatecrust). Daerah di bagian tengah tersebut dikenal juga sebagai daerah transisi.Keratan-keratan benua tersebut mencerminkan bahwa keratin kerak bumi telah pindah tempat(allochthone) sejak jutaan tahun lalu dimana telah bergerak sejauh ratusan kilometermeninggalkan tempatnya dan terus bergerak hingga sekarang. Sebagai contoh adalahfragmen Banggai-Sula yang secara geografis meliputi Kepulauan Banggai, Peleng dan Sula.Keratan benua kecil ini disusun oleh batuan asal benua yang terhanyutkan oleh PatahanSorong ke arah barat.Sementara itu, Pulau Sulawesi merupakan pusat benturan ketiga lempeng kerak bumi. Pulauini seakan dirobek oleh berbagai patahan (faulting) dan sesar (thrusting) dimana berbagaijenis batuan tercampur sehingga posisi stratigrafinya menjadi sangat rumit. Oleh karena itu,pulau ini memiliki empat buah lengan yang dikenal dengan sebutan Lengan Selatan, LenganUtara, Lengan Timur, dan Lengan Tenggara. Lengan Utara merupakan Sulawesi volcanic arcyang terbentuk sejak zaman neogen akhir (5,44 juta tahun lalu) hingga sekarang dan berkaitandengan palung subduksi. Lengan Timur dan Lengan Tenggara ditempati oleh jalur batuanophiolit (Eastern Sulawesi ophiolite) dan juga terdapat batuan lain yaitu mandala benuapindahan (allochtonous continental terrains) sekalipun dengan ukuran yang kecil. Dengankata lain, keempat lengan tersebut memiliki sejarah geologi yang kompleks dimana dicirikanoleh proses tektonik yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pulau ini dan kepulauanBanggai–Sula merupakan kesatuan mosaik geologi yang disatukan oleh proses tumbukan(collision)Dampak dari benturan antar lempeng kerak bumi yang berbeda jenis tersebut menimbulkanterjadinya penimbunan energi (stress energy) di dalam fitur-fitur geologi dan dalam kurunwaktu tertentu dimana akan dilepaskan secara tiba-tiba dengan nilai besaran gempa yangberagam. Potensi-potensi gempa bumi yang besar (> 7.5) tersebut dapat terjadi di sepanjangbatas lempeng kerak bumi (Ruff dan Kanamori, 1983 dan McCann et al., 1987).Benturan (collision) antara Busur Sunda Timur (busur Banda) dengan lempeng Benua BaratLaut Australia membentuk mosaik element–elemen tektonik kompleks yang terdiri dariberbagai fitur morfo-struktur. Oleh karena itu, di tepian timur Paparan Sunda tersebarcekungan tarikan Makassar (Makassar Extensional Basin), Palung Doang, Tepian Sulawesi,Palung Spermonde, Punggungan Selayar dan Cekungan Bone. Sementara di bagian selatanditempati cekungan busur belakang yang terdiri dari Cekungan Bali, Palung Lombok,Cekungan Flores, Sub-Cekungan Wetar. Dampak lainnya adalah terbentuknya patahan10patahan di Sulawesi, Kalimantan Timur, di bagian utara Nusa Tenggara Timur dan strukturbelakang busur (Gambar 6).Provinsi Papua yang terletak di bagian barat Pulau Nugini sering dipertimbangkan sebagaisalah satu daerah yang memiliki kondisi tektonik yang kompleks di dunia. Hal ini diakibatkanbenturan denngan sudut miring antara lempeng Samudera Pasifik–Lempeng Caroline yangbergerak ke selatan dengan kecepatan antara 110 mm – 125 mm/thn terhadap tepian lempengBenua Australia. Benturan miring lempeng-lempeng tersebut menghasilkan gerak patahanpatahankombinasi thrusting dan geser di seluruh pulau Irian meliputi jalur sesar naikMembramo di utara Papua, jalur anjak perdataran tinggi (the highland thrust belt) PapuaTengah, Sesar Sorong, Ransiki, Yapen, dan Zone Sesar Tarera–Aiduna yang terkonsentrasi disekitar Papua Barat, kepala dan leher burung Papua. Dengan kata lain, dapat disimpulkanbahwa Parit Nugini merupakan fitur tektonik utama yang dapat menggambarkan batas antaraLempeng Pasifik dan Lempeng Australia.Gambar 6. Tektonik utama Indonesia.Zona subduksi yang terjadi di bagian selatan wilayah Indonesia dikenal dengan sumbergempa Busur Sunda yang membentang dari bagian barat Pulau Andaman di bagian baratsampai Pulau Banda di bagian timur. Di bagian timur dari Busur Sunda membentang BusurBanda yang dimulai dari bagian timur Pulau Sumbawa yang membentang ke timur di bawahPulau Timor melengkung berlawanan arah jarum jam ke arah utara melewati Pulau Seram danmembentang ke arah barat hingga pulau Buru. Di bagian timur wilayah Indonesia, terjadipertemuan antara sumber gempa dari barat dan jalur gempa Busur Banda dengan jalur gempaakibat benturan atau pertemuan Lempeng Australia dengan Lempeng Pasifik. Zona-zonasubduksi utama wilayah Indonesia tersebut merupakan zona-zona sumber gempa yangmemberikan kontribusi yang signifikan terhadap kejadian gempa yang telah lalu dan yangakan datang.11Fault atau sesar yang terdapat di lempeng tektonik dalam perkembangannya juga mengalamipergerakan dan juga akan memberikan berkontribusi terhadap kejadian gempa. Besarnyamagnituda gempa yang terjadi akibat mekanisme pergerakan fault ini bergantung pada luasbidang fault yang saling mengunci (asperity area) dimana makin luas area asperity-nya makakemungkinan akan kejadian gempanya juga semakin besar. Mekanisme pergerakan fault inibisa berupa srike-slip, reverse dan normal.4. Katalog GempaDalam membuat model statistik probabilitas dari suatu sumber gempa diperlukan kataloggempa dan data seismogenic. Data kejadian gempa historik yang pernah terjadi di wilayahIndonesia dan sekitarnya dikumpulkan dari berbagai sumber, seperti dari a) NasionalEarthquake Information Center U.S. Geological Survey (NEIC-USGS), dimana data inimerupakan gabungan dari katalog gempa yang dikeluarkan oleh The Bureau CentralInternational de Seismologie (BCIS), International Seimological Summeries (ISS),International Seimological Center (ISC), Preliminary Determination of Epicenter (PDE) danbeberapa katalog perorangan, seperti Abe, Abe dan Noguchi, serta Gutenberg & Richter, b)katalog gempa Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Indonesia, c) katalogCentennial dimana merupakan kompilasi katalog Abe, Abe dan Noguchi, Newcomb &McCann, dan d) katalog Pacheco dan Sykes dimana gempa-gempa menengah sampai besartelah direlokasi dan dikoreksi, serta e) katalog gempa yang sudah direlokasi oleh Engdahl(Engdahl et al., 2007) dimana katalog ini berguna untuk mengontrol geometri dari patahan.Data yang dipilih adalah data dalam perioda tahun 1900 sampai tahun 2009 dengan batasankoordinat 10°LU - 12°LS dan 90°BT - 145°BT, sedangkan untuk analisis annual ratedigunakan data dari tahun 1964 sampai tahun 2009.
4.1. Konversi Skala Magnituda
Data-data kejadian gempa yang dikumpulkan dari berbagai sumber umumnya menggunakan
skala magnituda yang berbeda-beda. Skala magnituda yang digunakan antara lain adalah
suface wave magnituda (ms), Richter local magnitude (ML), body wave magnitude (mb) dan
moment magnitude (Mw). Skala-skala magnituda tersebut harus dikonversi terlebih dahulu
menjadi satu skala magnituda yang sama sebelum digunakan dalam analisis resiko gempa.
Terdapat beberapa usulan formulasi atau persamaan konversi skala magnituda yang diusulkan
peneliti seperti Purcaru dan Berckhemer (1978), Tatcher dan Hanks (1973), dimana rumusrumus
tersebut dibuat dengan menggunakan analisis regresi. Selain itu, Idriss (1985) telah
membuat grafik korelasi hubungan antara Mw dengan ML, MS, mb, dan MJMA. Analisis konversi
pada studi ini menggunakan data-data gempa (katalog gempa) wilayah Indonesia yang
dikumpulkan dari berbagai sumber diatas. Hal tersebut disebabkan peneliti tidak memiliki
data informasi untuk pembuatan persamaan konversi tersebut. Dari data-data tersebut dengan
menggunakan analisis regresi didapat rumusan korelasi konversi magnituda untuk wilayah
Indonesia seperti yang terlihat pada Tabel 1.
12
Tabel 1. Korelasi konversi antara beberapa skala magnituda untuk wilayah Indonesia.
Korelasi Konversi Jml Data
(Events) Range Data Kesesuaian
(R2)
Mw = 0.143Ms
2 – 1.051Ms + 7.285 3.173 4.5 ≤ Ms ≤ 8.6 93.9%
Mw = 0.114mb
2 – 0.556mb + 5.560 978 4.9 ≤ mb ≤ 8.2 72.0%
Mw = 0.787ME + 1.537 154 5.2 ≤ ME ≤ 7.3 71.2%
mb = 0.125ML
2 - 0.389x + 3.513 722 3.0 < ML < 6.2 56.1%
ML = 0.717MD + 1.003 384 3.0 ≤ MD ≤ 5.8 29.1%
4.2. Analisis Kejadian Gempa Independen
Kejadian-kejadian gempa dependent atau gempa ikutan (foreshock dan aftershock), harus
diidentifikasi sebelum data-data kejadian gempa digunakan untuk menentukan tingkat hazard
gempa. Beberapa kriteria empiris untuk mengidentifikasi kejadian gempa dependent telah
dilakukan oleh beberapa peneliti, seperti Arabasz dan Robinson (1976), Garner dan Knopoff
(1974) dan Uhrhammer (1986). Kriteria ini dikembangkan berdasarkan suatu rentang waktu
dan jarak tertentu dari satu kejadian gempa besar.
Dalam studi ini digunakan model Garner dan Knopoff (1974) untuk mencari gempa utama.
Hal ini sesuai dengan berbagai analisis yang dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan
model-model diatas dan diketahui model Garner dan Knopoff (1974) memiliki hasil yang
cukup baik. Katalog gempa yang diambil dari berbagai sumber di atas dikumpulkan sampai
mencapai lebih dari 70.000 kejadian gempa untuk seluruh wilayah Indonesia dan disortir
dengan model Garner & Knopoff (1974) hingga didapatkan main shock-nya dengan jumlah
8.151 kejadian gempa.
4.3. Analisis Kelengkapan (Completeness) Data Gempa
Proses analisis kelengkapan (completenes
正在翻譯中..