Batik Pekalongan sudah ada sejak sekitar tahun 1800. Namun,
perkembangan secara signifikan baru terjadi setelah Perang Diponegoro atau
disebut juga Perang Jawa (1825-1830) di kerajaan Mataram. Terjadinya
peperangan ini mendesak keluarga kraton serta para pengikutnya meninggalkan
daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian
di daerah-daerah baru itu para keluarga dan pengikutnya mengembangkan batik.
Dari arah timur, batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang
telah ada di Mojokerto serta Tulungagung hingga menyebar ke Gresik, Surabaya
dan Madura. Dari arah Barat batik berkembang di Banyumas, Kebumen, Tegal,
Cirebon dan Pekalongan. Dengan adanya migrasi ini, maka batik Pekalongan
yang telah ada sebelumnya semakin berkembang.
Pekalongan berkembang menjadi pusat batik terbesar di Jawa. Di kota
Pekalongan batik tumbuh menjadi sebuah industri yang makin lama makin
berorientasi komersial bukan lagi sekedar seni atau kriya. Batik Pekalongan
dipengaruhi oleh ide-ide dan warna-warna dari luar negeri termasuk dari Eropa
dan lebih bebas tidak terikat secara kuat dari pakem kraton. Watak penduduk
dan naluri bisnis yang pintar menjadikan Pekalongan sebagai tempat yang sangat
baik bagi para pengusaha bukan jawa yaitu Belanda, China dan Arab.
Persilangan berbagai budaya yang terjadi di Pekalongan menjadikan batik
Pekalongan memiliki ciri khas baik pada motif, corak dan perkembangannya
(Iwan Tirta, 2009: 95). Pada tahun 1950, sentra-sentra pengrajin batik yang
dahulu merupakan pusat industri batik mulai bangkit kembali dan merambat