MAUMERE, FBC- Pohon yang mudah ditemui di hutan-hutan wilayahFlores, adalah pohon enau. Masyarakat sungguh mengenal pohon ini sebagai tanaman yang bernilai ekonomi. Selain menghasilkan tuak putih atau moke putih, pohon ini juga bermanfaat sebagai pohon yang melindungi lingkungan dari erosi yang disebabkan oleh banjir. Akar, batang, daun, buah hingga patinya telah dikelola menjadi kerajinan tangan untuk peralatan rumah tangga dan makanan pada saat kekurangan pangan terutama dilanda kelaparan.
Lambertus Lego (44) mengambil tuak hasil sadap dari pohon enau (tuak) (Foto : FBC/ Benny Kasman)
Lambertus Lego (44), karyawan kebun sayur pada Seminari Tinggi Ledalero, tahu dengan manfaat pohon enau ini. ”Saya biasa bawa serta tuak putih dengan bekal nasi dan lauk pauk pada saat kerja di kebun. Ini menjadi tambahan energi yang memulihkan tenaga setelah seharian bekerja di kebun atau ladang,” ungkapnya
Dia menjelaskan, segelas tuak dapat menemani ubi bakar atau rebus pada pagi atau sore hari dan menjelang malam. Dia menambahkan, mimuman tuak menjadi pertemanan saat santai bercengkeraman pada waktu senggang, ujarnya.
Dia menceritrakan, proses pembuatan penyadapan dimulai dengan menampung air bunga tandan dari pohon tuak, atau dikenal dengan moke putih. Peralatan yang digunakan adalah pisau atau golok, bambu berbentuk tabung berdiameter 15 cm, panjang 1 meter, dan sabuk pengaman.
Pemilihan bunga adalah bagian yang paling menentukan untuk dapat menghasilkan air tuak yang bermutu baik dan jumlahnya banyak. Kuncup bunga enau dibuka dengan menggunakan pisau atau golok secara hati-hati. Setelah semua tandan terbuka, lalu tandan dirundukkan dengan menggunakan tali yang diikatkan pada pelepah daun bawah, dan dibiarkan selama 3-4 hari.
Selanjutnya, Lambertus yang tinggal di RT 11, Wairpelit, Desa Takaplager, Kecamatan Nita, menuturkan penampungan atau penderasan air tuak dapat dilakukan dengan mengiris ujung tandan bunga. Setiap kali air diambil, bunga diiris kira-kira 0,5 cm dan air yang keluar ditampung dengan bambu.
Penampungan atau penderasan air tuak dapat dilakukan dengan mengiris ujung tandan bunga. (Foto : FBC/Benny Kasman)
Sebelumnya bambu diisi dengan kapur sirih atau daun-daun khusus untuk mencegah air agar tidak menjadi asam. Penampungan air dilakukan sebanyak dua kali dalam sehari yakni pagi dan sore hari. Dua kali sehari mesti memanjat pohon enau dengan tinggi sekitar 19 meter. Umur pohon kira-kira 15 tahun.
Setiap pohon tuak, lanjut Lambert, dapat menghasilkan 8-10 liter. Air tuak yang telah dikumpulkan selama kurang lebih satu hari, kemudian diberi bawang merah yang diiris, daun kemangi, dan daun. Sesudah itu siap suguh menjadi minuman. Aroma memiliki aroma yang khas, dan rasa asam sedikit bercampur agak pahit saat diminum.
Jika pohon tidak menghasilkan banyak buah, ada cara tradisi nenek moyang yang dapat memberikan hasil yang banyak. Persoalan ini diatasi dengan penyadap tidak hanya dengan keahlian teknis namun juga dengan cara upacara pemberian sesaji, seperti sembelih ayam. Sebab penyadap menyakini bahwa pohon enau memiliki ‘roh’. Setiap peyadap mesti mengetahui akan sisi ‘gaib’ dari pohon ini. Oleh karena itu pengiris memberikan sesajian.
Biasanya, menyuguhkan bahan saji sebelum pekerjaan iris bunga aren. Doa-doa mantra mengiringi sesaji itu. Nenek moyang telah berpesan bahwa pohon enau sebagai bagian dari kehidupan. Pohon ini memberikan berkah untuk saat ini dan masa depan.
Perlakuan Petani
Perlakuan petani akan pohon enau agak berbeda dengan pohon alami lain. Pada umumnya, petani membiarkan pohon enau (tuak) tumbuh dan berkembang secara alami di kebun lahan kering. Biasanya, mereka tak memusnaskan saat pembersihan lahan siap tanam.
Tanaman yang satu ini tak ditebang. Hanya membersihkan sekitar pohon sekali dalam musim tanam. Tumbuhan ini dibiarkan hidup. Tak ada upaya menaburi pupuk. Tiada usaha membudidayakan. Juga tak ada perlakuan khusus walaupun memberikan banyak manfaat bagi tuan kebun.
Binatang Musang menabur biji pohon enau, manusia menuai hasil setelah menjadi besar. Musang memakan buah pohon enau lantas bijinya dibiarkan jatuh ke tanah. Hewan inilah yang mengambil buahnya sebagai salah satu makanan. Buah dibawa pergi ke tempat-tempat yang aman buat makanan. Biji-biji enau dibiarkan jatuh ke tanah.
Lama kemudian biji-biji itu tumbuh dan berkembang. Dengan demikian binatang Musang secara tak sengaja seakan menabur biji enau ke tanah. Ada biji yang ditaburi di ladang atau di hutan belukar dekat kebun petani. Ketika biji itu bertumbuh menjadi besar maka manusia pada umumnya atau petani khususnya memanfaatkan bagian-bagian dari pohon enau. Bukankah manusia menuai hasil dari penaburan binatang Musang?
Sesungguhnya, pohon enau telah memberi kegunaan bagi manusia. Tangkai buah sebagai sumber penyadapan air tuak putih untuk diminum atau diolah menjadi sopi dan gula. Kini air tuak pun sebagai salah satu bahan baku untuk fermentasi pembuatan pupuk dan pestisida nabati alami bagi tanaman kakao-coklat. Ijuk untuk bikin sapu atau atap rumah. Llidi dijadikan sapu atau dianyam menjadi piring buat rental saat pesta. Buah mengandung rasa gatal dapat dipakai sebagai obat menghalau hama tikus yang menyerang tanaman padi.
Petani tradisional sangat menghargai pohon enau. Sebab pengalaman bertani membuktikan sistem akar yang dalam mampu menaikan permukaan tanah hingga menjadi subur. Tanaman ini pun mempunyai fungsi menahan erosi saat tiba banjir pada musim hujan. Oleh karena itu pohon ini sama sekali tidak boleh diganggu oleh manusia. Usaha dan ancaman merusakan dari pihak-pihak luar selalu diawasi. Sebab ini adalah pengalaman leluhur yang diwariskan bagi anak cucu yang telah teruji dari masa ke masa.
Moke Putih sekedar minuman pelipur lara, tidak bisa dan tidak boleh minum hingga mabuk-mabukan. Tidak juga minum sebanyaknya hingga kenyang dan tertidur dan lupa kerja. Orang mabuk dan malas justru dihindari masyarakat. (Benny Kasman)
- See more at: http://www.floresbangkit.com/2013/03/moke-putih-dari-enau-minuman-pelipur-lara/#sthash.fpsKf6iU.dpuf
MAUMERE, FBC- Pohon yang mudah ditemui di hutan-hutan wilayahFlores, adalah pohon enau. Masyarakat sungguh mengenal pohon ini sebagai tanaman yang bernilai ekonomi. Selain menghasilkan tuak putih atau moke putih, pohon ini juga bermanfaat sebagai pohon yang melindungi lingkungan dari erosi yang disebabkan oleh banjir. Akar, batang, daun, buah hingga patinya telah dikelola menjadi kerajinan tangan untuk peralatan rumah tangga dan makanan pada saat kekurangan pangan terutama dilanda kelaparan.Lambertus Lego (44) mengambil tuak hasil sadap dari pohon enau (tuak) (Foto : FBC/ Benny Kasman)Lambertus Lego (44), karyawan kebun sayur pada Seminari Tinggi Ledalero, tahu dengan manfaat pohon enau ini. ”Saya biasa bawa serta tuak putih dengan bekal nasi dan lauk pauk pada saat kerja di kebun. Ini menjadi tambahan energi yang memulihkan tenaga setelah seharian bekerja di kebun atau ladang,” ungkapnyaDia menjelaskan, segelas tuak dapat menemani ubi bakar atau rebus pada pagi atau sore hari dan menjelang malam. Dia menambahkan, mimuman tuak menjadi pertemanan saat santai bercengkeraman pada waktu senggang, ujarnya.Dia menceritrakan, proses pembuatan penyadapan dimulai dengan menampung air bunga tandan dari pohon tuak, atau dikenal dengan moke putih. Peralatan yang digunakan adalah pisau atau golok, bambu berbentuk tabung berdiameter 15 cm, panjang 1 meter, dan sabuk pengaman.Pemilihan bunga adalah bagian yang paling menentukan untuk dapat menghasilkan air tuak yang bermutu baik dan jumlahnya banyak. Kuncup bunga enau dibuka dengan menggunakan pisau atau golok secara hati-hati. Setelah semua tandan terbuka, lalu tandan dirundukkan dengan menggunakan tali yang diikatkan pada pelepah daun bawah, dan dibiarkan selama 3-4 hari.Selanjutnya, Lambertus yang tinggal di RT 11, Wairpelit, Desa Takaplager, Kecamatan Nita, menuturkan penampungan atau penderasan air tuak dapat dilakukan dengan mengiris ujung tandan bunga. Setiap kali air diambil, bunga diiris kira-kira 0,5 cm dan air yang keluar ditampung dengan bambu.Penampungan atau penderasan air tuak dapat dilakukan dengan mengiris ujung tandan bunga. (Foto : FBC/Benny Kasman)Sebelumnya bambu diisi dengan kapur sirih atau daun-daun khusus untuk mencegah air agar tidak menjadi asam. Penampungan air dilakukan sebanyak dua kali dalam sehari yakni pagi dan sore hari. Dua kali sehari mesti memanjat pohon enau dengan tinggi sekitar 19 meter. Umur pohon kira-kira 15 tahun.Setiap pohon tuak, lanjut Lambert, dapat menghasilkan 8-10 liter. Air tuak yang telah dikumpulkan selama kurang lebih satu hari, kemudian diberi bawang merah yang diiris, daun kemangi, dan daun. Sesudah itu siap suguh menjadi minuman. Aroma memiliki aroma yang khas, dan rasa asam sedikit bercampur agak pahit saat diminum.Jika pohon tidak menghasilkan banyak buah, ada cara tradisi nenek moyang yang dapat memberikan hasil yang banyak. Persoalan ini diatasi dengan penyadap tidak hanya dengan keahlian teknis namun juga dengan cara upacara pemberian sesaji, seperti sembelih ayam. Sebab penyadap menyakini bahwa pohon enau memiliki ‘roh’. Setiap peyadap mesti mengetahui akan sisi ‘gaib’ dari pohon ini. Oleh karena itu pengiris memberikan sesajian.Biasanya, menyuguhkan bahan saji sebelum pekerjaan iris bunga aren. Doa-doa mantra mengiringi sesaji itu. Nenek moyang telah berpesan bahwa pohon enau sebagai bagian dari kehidupan. Pohon ini memberikan berkah untuk saat ini dan masa depan.Perlakuan PetaniPerlakuan petani akan pohon enau agak berbeda dengan pohon alami lain. Pada umumnya, petani membiarkan pohon enau (tuak) tumbuh dan berkembang secara alami di kebun lahan kering. Biasanya, mereka tak memusnaskan saat pembersihan lahan siap tanam.Tanaman yang satu ini tak ditebang. Hanya membersihkan sekitar pohon sekali dalam musim tanam. Tumbuhan ini dibiarkan hidup. Tak ada upaya menaburi pupuk. Tiada usaha membudidayakan. Juga tak ada perlakuan khusus walaupun memberikan banyak manfaat bagi tuan kebun.Binatang Musang menabur biji pohon enau, manusia menuai hasil setelah menjadi besar. Musang memakan buah pohon enau lantas bijinya dibiarkan jatuh ke tanah. Hewan inilah yang mengambil buahnya sebagai salah satu makanan. Buah dibawa pergi ke tempat-tempat yang aman buat makanan. Biji-biji enau dibiarkan jatuh ke tanah.Lama kemudian biji-biji itu tumbuh dan berkembang. Dengan demikian binatang Musang secara tak sengaja seakan menabur biji enau ke tanah. Ada biji yang ditaburi di ladang atau di hutan belukar dekat kebun petani. Ketika biji itu bertumbuh menjadi besar maka manusia pada umumnya atau petani khususnya memanfaatkan bagian-bagian dari pohon enau. Bukankah manusia menuai hasil dari penaburan binatang Musang?Sesungguhnya, pohon enau telah memberi kegunaan bagi manusia. Tangkai buah sebagai sumber penyadapan air tuak putih untuk diminum atau diolah menjadi sopi dan gula. Kini air tuak pun sebagai salah satu bahan baku untuk fermentasi pembuatan pupuk dan pestisida nabati alami bagi tanaman kakao-coklat. Ijuk untuk bikin sapu atau atap rumah. Llidi dijadikan sapu atau dianyam menjadi piring buat rental saat pesta. Buah mengandung rasa gatal dapat dipakai sebagai obat menghalau hama tikus yang menyerang tanaman padi.Petani tradisional sangat menghargai pohon enau. Sebab pengalaman bertani membuktikan sistem akar yang dalam mampu menaikan permukaan tanah hingga menjadi subur. Tanaman ini pun mempunyai fungsi menahan erosi saat tiba banjir pada musim hujan. Oleh karena itu pohon ini sama sekali tidak boleh diganggu oleh manusia. Usaha dan ancaman merusakan dari pihak-pihak luar selalu diawasi. Sebab ini adalah pengalaman leluhur yang diwariskan bagi anak cucu yang telah teruji dari masa ke masa.
Moke Putih sekedar minuman pelipur lara, tidak bisa dan tidak boleh minum hingga mabuk-mabukan. Tidak juga minum sebanyaknya hingga kenyang dan tertidur dan lupa kerja. Orang mabuk dan malas justru dihindari masyarakat. (Benny Kasman)
- See more at: http://www.floresbangkit.com/2013/03/moke-putih-dari-enau-minuman-pelipur-lara/#sthash.fpsKf6iU.dpuf
正在翻譯中..