Tulisan ini bukan ditujukan untuk mempercayainya begitu saja, namun mengarah ke dalam proses kesadaran. Ibarat detektif yang menyelidiki suatu kasus, begitupula dalam kehidupan sehari-hari, selidikilah gerak gerik pikiran dan perasaan Anda.
Perlu diakui bahwa kita memiliki kekotoran batin. Sebagian besar tindakan kita digerakkan olehnya. Seolah-olah kita tak berdaya dalam mengendalikannya. Ada tiga (3) tingkatan kilesa, yaitu
1. Vitikamma kilesa, kekotoran batin yang telah terwujud dalam perbuatan jasmani dan ucapan.
2. Pariyutthana kilesa, yaitu kekotoran batin yang muncul dalam pikiran.
3. Anusaya kilesa, yaitu kilesa yang terpendam dalam kesadaran dan ketika ada kondisi yang memadai, maka menyebabkan kemunculan pariyutthana kilesa dan vitikamma kilesa.
Sebagai contoh, ketika seseorang melihat makanan lezat tersajikan (objek yang menyenangkan), maka timbul perasaan menyenangkan. Kemudian, kekotoran batin yang terpendam (anusaya kilesa) muncul ke permukaan ‘kesadaran’. Disini kilesa sudah termasuk dalam tingkat pariyutthana kilesa. Kekotoran batin berupa nafsu telah muncul dalam pikiran sadar seseorang. Lalu, karena dorongan kekuatan nafsu keinginan, maka kita menggerakkan tangan untuk mengambil dan memakannya. Ketika landasan indera pengecap kontak dengan objeknya, yaitu rasa makanan itu, timbullah kesadaran mengecap, timbullah perasaan menyenangkan yang mengalami nikmatnya makanan lezat tersebut. Dari perasaan inilah, muncul nafsu keinginan. Menginginkannya lagi dan lagi. Faktor mental keserakahan muncul ke permukaan kesadaran (termasuk dalam tingkat pariyutthana kilesa) dan kemudian terwujud lagi dalam tindakannya dengan memakan lebih banyak (termasuk dalam vitikamma kilesa).
Di samping itu, ketika kontak terjadi, ada faktor batin yang turut bekerja, yaitu pencerapan (sanna). Tugas pencerapan adalah menandai hal baru dan mengenali hal yang telah disimpan dalam gudang kesadaran. Dalam kasus di atas, ketika seseorang telah mencicipi makanan tersebut, dia mencerap bahwa makanan itu ‘enak’, dan mengalami perasaan nikmat, sehingga menyebabkan ia melekat akan perasaan menyenangkan dan persepsi ‘enak’ tersebut. Ketika dia melihat makanan itu lagi di lain waktu dan tempat, dia menginginkannya lagi dan berusaha mendapatkannya, karena kemelekatannya itu. Ketika ia berusaha memperolehnya, ada kehendak (cetana). Dalam hal ini, perbuatan (kamma) telah dilakukan.
Lihatlah bagaimana kekuatan kilesa telah mengendalikan kita dalam bertindak. Perbuatan (kamma) dilakukan, melalui tiga pintu yaitu pintu pikiran, ucapan, maupun perbuatan jasmani, yang kemudian akan tertanam kembali dalam kesadaran dan berpotensi untuk menghasilkan akibat ketika kondisinya mendukung, ibarat benih yang berpotensi menghasilkan buah. Begitulah sifat kamma.
Ketika kita mengalami objek yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, itu merupakan buah kamma (vipaka) dari masa lampau. Namun jika kita bereaksi dan berbuat berlandaskan kegelapan batin (avijja) dan nafsu (tanha), kita telah menanam benih kamma yang baru (kamma baik ataupun buruk). Dalam kasus di atas, saat menemukan makanan lezat, merupakan buah kamma baik masa lampau, namun jika reaksinya adalah keserakahan, maka kita menciptakan kamma baru, sehingga ketika menemukan makanan lezat, kita menginginkannya lagi. Beginilah kita terus menerus berputar dalam lingkaran. Dalam kasus yang lebih jauh, kita banyak melakukan berbagai macam perbuatan baik ataupun buruk karena kemelekatan kita terhadap objek dan perbuatan (kamma) tersebut yang berakarkan avijja dan tanha akan menyebabkan lingkaran tumimbal lahir.
Ketika seseorang tidak mampu menjadi ‘tuan’ atas pikirannya, maka kekuatan kekotoran batin yang akan menggerakkannya.
Ketika muncul kekotoran batin, hanya mengamati dan jangan memberi dia makan! Ibarat kucing datang mengeong, jika kita berhenti memberinya makan, dia perlahan-lahan akan meninggalkan kita.
Dalam hal kekotoran batin, kita tidak memberinya makan dengan tidak langsung menurutinya. Namun, hanya memperhatikan sifat alamiahnya yang muncul dan lenyap. Dengan kekuatan kesabaran, perhatian penuh dan pandangan kebijaksanaan, maka kekotoran batin akan meleleh bagaikan salju mencair ketika terbitnya matahari yang bersinar terang dan hangat. Namun, jika kita terus menurutinya, hal ini diibaratkan dengan gulungan bola salju yang terus membesar yang akan menghantam apapun. Begitupula jika kita menuruti kekotoran batin akan menyebabkan kekotoran batin menumpuk dan menjadi suatu kebiasaan/watak yang tidak bermanfaat yang kelak akan merugikan diri sendiri dan makhluk lain.
Sesungguhnya kehidupan kita adalah serangkaian dari proses kesadaran, yaitu kesadaran melihat, mendengar, membaui, mengecap, menyentuh, dan berpikir. Tugas kita hanyalah mengawasi , memperhatikan, menyaksikan fenomena yang terjadi sebagaimana apa adanya, dengan sifat alamiahnya muncul, berkembang, lenyap, ibarat gelombang laut, tanpa kemelekatan, hanya mengamati tanpa terhanyut dalam permainan pikiran dan perasaan. Pada akhirnya, tibalah kita pada samudera keheningan yang mendalam nan jernih yang memantulkan cahaya rembulan. Pandangan kebijaksanaan yang menguak kebenaran sesungguhnya.
Memilih kebahagiaan yg bersifat panas atau dingin?
Persepsi yang keliru menganggap bahwa kesenangan indria adalah kebahagiaan sesungguhnya. Ketika kita telah mendapatkan apa yang kita inginkan, kita merasakan kenikmatan tersebut yang kemudian tertanam dalam kesadaran kita.
Segala yang berkondisi tidak kekal. Begitulah sabda sang Buddha.
Kesenangan yang diperoleh melalui indria ini pun tidak kekal adanya. Segala sesuatu yang tidak kekal adalah tidak memuaskan (dukkha). Mengapa segala sesuatu tidak kekal? Karena segala "bentukan" tidak ada yang berdiri sendiri, sifatnya kosong dari 'diri'.
Perasaan menyenangkan yg timbul dari kontak indria lama-lama akan memudar dan lenyap. Karakteristik pencerapan adalah menandai hal yang baru dan mengenali hal yang pernah kita ketahui yang tersimpan dalam gudang kesadaran (database). Kemudian muncullah perasaan atau sensasi. Karena persepsi keliru yang telah mengakar kuat dalam gudang kesadaran, menganggap bahwa sensasi indria ataupun perasaan yang muncul adalah kekal dan menganggap bahwa ada 'aku' yang merasakan sensasi itu, sehingga ketika kita mencerap sensasi indria itu, muncullah nafsu keinginan. Kita menginginkannya lagi dan lagi kenikmatan dari sensasi itu dan keinginan untuk menolak sensasi yang tidak menyenangkan.
Tanpa disadari kita semakin melekat pada apa yang kita inginkan. Kita terus mencari objek kesenangan indria. Jika objek tersebut telah terpenuhi, muncul rasa jenuh dan kemudian beralih untuk mencari objek kesenangan yang lain. Oleh karena itulah kenapa nafsu tak dapat dipuaskan. Kita menjadi haus akan kenikmatan dan hidup dalam pengejaran. Kita mengejar-ngejar kebahagiaan yang diperoleh dari pemuasan nafsu, karena persepsi keliru bahwa kebahagiaan berasal dari nafsu. Tanpa disadari batin dan jasmani menjadi panas. Inilah yang dikatakan sebagai kebahagiaan yg sifatnya panas. Ibarat seseorang yang merasa haus dalam cuaca yang panas terik, demikianlah nafsu membakar batin dan jasmani kita. Kita haus akan kenikmatan indria.
Dalam memperoleh kenikmatan itu, kita melakukan banyak tindakan. Ini kita sebut sebagai perbuatan (kamma) melalui 3 pintu, yaitu pintu pikiran, ucapan, dan tubuh jasmani. Sebelum kita bertindak melalui ucapan ataupun jasmani, pikiran adalah pelopornya. Beginilah kita terus berputar-putar dalam lingkaran.
Seseorang yang tersadarkan akan kefanaan dunia ini akan mulai memasuki Jalan yang tlah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagava. (dalam gambar Paticcasamuppada di sudut kanan atas, Sang Buddha menunjuk yang berarti menujukkan Jalan untuk terbebas dari samsara).
Melalui penyempurnaan dana dan berlatih pengendalian diri (sila) yang diiringi dengan kebijaksanaan (panna), yaitu terdiri dari pandangan dan pikiran benar, maka kehidupan saat ini menjadi terarah dan lurus. Selain itu, jika ia telah meninggalkan dunia ini, ia akan berbahagia di kehidupan selanjutnya, terlahir kembali di alam bahagia (manusia atau kediaman para Dewa).
Lalu, apa kebahagiaan yg bersifat dingin?
Ketika seseorang mulai mengheningkan dan mengkonsentrasikan pikirannya sampai memasuki tahapan meditatif. Menyadari bahwa kesenangan indria adalah bentuk kesenangan yang kasar. Oleh karena itu, ia bergembira hidup dalam pengendalian indria, moralitas (sila). Moralitasnya semakin murni.
Melalui pemurnian sila inilah yang mendukung dalam pengembangan batin (bhavana), ia terus berlatih dengan tekun. Kekuatan konsentrasi dan pemusatan pikiran (samadhi) menekan 5 rintangan batin (nivarana), yaitu nafsu indrawi, niat jahat, kemalasan atau kelambanan, kegelisahan atau penyesalan, keragu-raguan. Tahap ini mungkin seseorang telah mencapai kebahagiaan dari pemusatan pikiran, yang biasa disebut kebahagiaan jhana. Meskipun kebahagiaan ini lebih mulia dibandingangkan kebahagiaan indrawi, namun jika seseorang masih melekati kebahagiaan ini, ia pun tidak akan maju dalam latihan dan mencapai pembebasan dari lingkar tumimbal lahir (samsara). Ia hanya berhenti dalam kebahagiaan Jhana dan menikmati pencapaian meditasinya. Setelah kehidupan ini berakhir, ia terlahir di alam Brahma dengan jangka waktu kehidupan yang sangat panjang. Demikianlah ia memetik dan menikmati buah dari latihannya, namun ia belum lepas dari samsara.
Oleh sebab itu, dalam pelatihan moralitas (sila) dan konsentrasi (samadhi), latihan ini juga mengasah (mendukung) kebijaksanaan (panna). Pandangan benar yang termasuk dalam latihan kebijaksanaan berperan untuk mengkontemplasi tiap kondisi sebagai tidak kekal (anicca), tidak memuaskan (dukkha), tanpa aku (anatta). Kebijaksanaan yang semakin tajam, maka sila dan samadhi pun juga semakin murni, Jadi, tiga tahap latihan ini saling mendukung satu sama lain. Melalui tiga tahap latihan ini memungkinkan penembusan Dharma (tidak terlena akan dua jenis kebahagiaan, yaitu kesenangan indria yang bersifat panas maupun