Seperti biasanya tahun2 terakhir ini setiap acara syawalan baik di kampung maupun di lingkaran srawungnya, mbah Ledjar (pencipta wayang kancil) selalu didapuk sebagai tetua yang dalam ritual tahunan itu menjadi sosok yang didudukan tersendiri yang akan dimintai permohonan maaf dan ampunan segenap hadirin secara berurut-urutan. Pada awalnya dulu ketika menggantikan kedudukan ‘tetua’ sebelumnya beliau agak jengah, karena tiba-tiba diingatkan akan ke tua an nya. Tapi demi menjaga dan menghormati kebersamaan akhirnya beliau terima saja. Nyatanya memang usianya sudah tua, meski ada banyak orang setua atau bahkan lebih tua darinya di kampungnya atau di komunitas kesehariannya hanya saja mbah Ledjar lebih populer, bukan karena ketuaannya tapi justru berpembawaan yang ‘ngenomi’.
‘Kakek gaul’ ini memang nampak menjalani hidupnya secara enjoy-enjoy aja diantara para seniman muda. Senyatanya memang tak kalah produktif. Sekembalinya dari ‘Pasar Tongtong’ Belanda, beberapa karyanya dikoleksi oleh Tropen Museum, bahkan keluarga kerajaan Belanda juga memesan wayang silsilah keluarga mereka. Setelah menyelesaikan garapan wayangnya tentang peristiwa ‘Jogja Kembali’, beliau ingin membuat wayang Seniman Jogja teman2nya. Pada hajatan Biennale Jogja X akhir tahun 2009 lalu, karya wayang ‘Jan Pieterzoon Koen’ nya dan beberapa lainnya yang berukuran tinggi 1,5 meter dan terbuat dari plat bekas drum aspal menghiasi kota Jogja. Hari ini hampir tiap malam beliau nglembur natah dan nyungging karya2 barunya.
Sosok ini penampilannyapun nampak nggak mau kalah nyentrik dan ketinggalan. Dimataku mbah Ledjar memang ‘kakek artistic’, selalu antusias dalam setiap kesempatan baik ngobrol, diskusi maupun kerja bersama. Rasanya begitu menikmati menjadi bagian komunitas yang memang seolah tak bersekat itu. Beliau tak sungkan melakukan hal-hal sebagaimana kebiasaan teman-teman mudanya. Hanya saja memang belum ngakses internet atau ber FB ria. Kalau ada rejeki dan kesempatan beliaupun suka nraktir bir kawan-kawannya yang suka minum. Kalau waktu lalu bir dari Belanda karena pake duit Golden akhir-akhir ini bir local gara-gara dapat penghargaan berupa piagam dan uang dari Pemerintah Kota Jogja atas kesenimanannya. Nah, justru dalam moment2 seperti itulah biasanya malah suka lupa dan keliatan tuanya, gara-gara ngomong terus dan panjang diulang-ulang alias nglantur, seperti berebut perhatian dengan banyolan-banyolannya.
Dalam acara syawalan berbarengan dengan ulang tahun Bentara Budaya Yogyakarta yang baru lalu, mbah Ledjar seperti hendak merebut kembali dan mempertahankan ‘kemerdekaan’ lakunya sebagai dirinya sendiri. Beliau mempertanyakan kembali kebiasaan sang perancang atau protocol acara yang mendudukan beliau sebagai ‘orang yang dituakan’.
‘Ora bener kuwi, aku tua karepe dewe kok.. lha wong kowe-kowe lair aku wis tua je.. kok nuake aku, kapan kui? Koyo barang antik wae.. repro an njuk di gawe tuwo.’
Sepintas ungkapan itu memang serupa banyolan baru dari beliau. Tetapi rasanya ada tersirat makna lain. Menjadi dewasa, tua arif dan bijaksana rasanya memang tak perlu dibuat-buat (seolah-olah). Predikat itu tak kan sekonyong-konyong diperoleh pula sejalan dengan bertambahnya usia, harta maupun kekuasaannya. Begitu ya mbah….